Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, danLemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebaragama Islam di Pulau Jawa.[1] Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaranWalisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
[Sumber...]
Beliau (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufiagama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. dan juga salah satu penyebar
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep Dan Ajaran Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hululyang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan ‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’ kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing – masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda–beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing–masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>.
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah…. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.
Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini, karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat Allah.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah Pada Saat Pasca Kematian
Kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
sumber : wikipedia
~*~
Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai kain yang didalamnya penuh akan keindahan corak dan warna, inilah yang diidamkan seluruh ahli sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman ilmu, penghayatan dan keluasan tentang segala kebesaran Alloh, perjalanan dan pengorbanan yang selalu dilakoninnya sedari kecil, membuat segala macam ilmu yang ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyulloh kamil.
Dalam pandangan para waliyulloh, dimana badan telah tersirat asma’ Alloh dan segala tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid, dimana setiap detak jantung selalu menyerukan keagunganNya dan setiap pandangan matanya mengandung makna tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang waliyulloh agung yang mana jasad dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan dzat Alloh. Inilah sanjungan yang dilontarkan oleh seluruh bangsa wali kala itu pada sosok, kanjeng Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang tersiram didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap desiran nafasnya, pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam didalam akal dan hatinya, membuat kanjeng Syeikh Siti Jenar menjadi seorang guru para wali.
Lewat kezuhudan yang beliau miliki serta keluasan ilmu yang dia terapkan, membuat segala pengetahuannya selalu dijadikan contoh. Beliau benar benar seorang guru agung dalam mengembangkan sebuah dhaukiyah kewaliyan/tentang segala pemahaman ilmu kewaliyan. Tak heran bila kala itu banyak bermunculan para waliyulloh lewat ajaran ilafi yang dimilikinya.
Diantara beberapa nama santri beliau yang hingga akhir hayatnya telah sampai kepuncak derajat waliyulloh kamil, salah satunya, sunan Kali Jaga, raden Fatah, kibuyut Trusmi, kigede Plumbon, kigede Arjawinangun, pangeran Arya Kemuning, kiageng Demak Purwa Sari, ratu Ilir Pangabean, gusti agung Arya diningrat Caruban, Pangeran Paksi Antas Angin, sunan Muria, tubagus sulthan Hasanuddin, kiAgeng Bimantoro Jati, kiSubang Arya palantungan dan kigede Tegal gubug.
Seiring perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi segala aktifitas mengajarnya tatkala, Syarief Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati, telah tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya beliau yang menyudahi aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali Jawa, sunan Ampel dan sunan Giri juga mengakhirinya pula.
Mereka semua ta’dzim watahriman/ menghormati derajat yang lebih diagungkan, atas datangnya seorang Quthbul muthlak/ raja wali sedunia pada zaman tersebut, yaitu dengan adanya Syarief Hidayatulloh, yang sudah menetap dibumi tanah Jawa.
Sejak saat itu pula semua wali sejawa dwipa, mulai berbondong ngalaf ilmu datang kekota Cirebon, mereka jauh jauh sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief Hidayatulloh, yang ditunjuk langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan semua mahluk ( Quthbul muthlak )
Nah, sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh Siti Jenar, tentunya kita agak merasa bingung tentang jati diri, Syarief Hidayatulloh, yang barusan dibedarkan tadi. "Mengapa Syarief Hidayatulloh kala itu sangat disanjung oleh seluruh bangsa wali ?".
Dalam tarap kewaliyan, semua para waliyulloh, tanpa terkecuali mereka semua sudah sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan dalam tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan segala derajat yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Alloh SWT, jauh jauh telah memberi hawatief pada setiap diri para waliyulloh, tentang segala hal yang menyangkut derajat kewaliyan seseorang.
Nah, sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Alloh SWT, menunjuk seseorang menjadikannya derajat waliyulloh, maka pada waktu yang bersamaan, nabiyulloh, Hidir AS, yang diutus langsung oleh malaikat, Jibril AS, akan mengabarkannya kepada seluruh para waliyulloh lainnya tentang pengangkatan wali yang barusan ditunjuk tadi sekaligus dengan derajat yang diembannya.
Disini akan dituliskan tingkatan derajat kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat yang paling atas. "Quthbul muthlak- Athman- Arba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’ – Nujaba’ – Abdal- dan seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila saat itu seluruh wali Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon, karena tak lain didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, Quthbul muthlak, yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.
Kembali kecerita syeikh Siti Jenar, sejak adanya, Syarief Hidayatulloh, yang telah memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala itu belajar arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah, syeikh Siti Jenar sendiri.
Empat tahun para wali ikut bersamanya dalam “Husnul ilmi Al kamil"/ menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan setelah itu, Syarief Hidayulloh, menyarankan pada seluruh para wali untuk kembali ketempat asalnya masing masing. Mereka diwajibkan untuk membuka kembali pengajian secara umum sebagai syiar islam secara menyeluruh.
Tentunya empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi para wali kala itu, mereka telah menemukan jati diri ilmu yang sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh seorang derajat, Quthbul mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka peroleh, tidak semua dari mereka membuka kembali pesanggrahannya.
Banyak diantara mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarief Hidayatulloh, segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbulloh/ hanya cinta dan ingat kepada Alloh semata. Hal seperti ini terjadi dibeberapa pribadi para wali kala itu, diantaranya; syeikh Siti Jenar, sunan Kali Jaga, sulthan Hasanuddin Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan dan Syeikh Magelung Sakti.
Mereka lebih memilih hidup menyendiri dalam kecintaannya terhadap Dzat Alloh SWT, sehingga dengan cara yang mereka lakukan menjadikan hatinya tertutup untuk manusia lain. Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah lahiriyah mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya.
Seperti halnya, syeikh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/ kesaktian ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan sunan Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang terbuat dari bahan anyaman bambu. Sulthan Hasanuddin, lebih banyak mengeluarkan fatwa dan selalu menasehati pada binatang yang dia temui.
Pangeran Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya selalu membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya menyanyikan berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh Magelung Sakti, lebih dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk bermain dengan anak anak.
Lewat perjalanan mereka para hubbulloh/ zadabiyah/ ingatannya hanya kepada, Alloh SWT, semata. Tiga tahun kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya dari sifat bangsa dzat Alloh, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir.
Namun diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Alloh ini hanya syeikh Siti Jenar, yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata ( Alloh ) Beliau lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa terbendung, sehingga dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau banyak dimanfaatkan kalangan umum yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu kewaliyan.
Sebagai seorang waliyulloh yang sedang menapaki derajat fana’, segala ucapan apapun yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua ini selalu dimanfaatkan oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya tanpa harus terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya.
Dengan dasar ini, orang orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah banyak dan pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan para waliyulloh. Dari kisah ini pula, syeikh Siti Jenar, berkali kali dipanggil dalam sidang kewalian untuk cepat cepat merubah sifatnya yang banyak dimanfaatkan orang orang yang tidak bertanggung jawab, namun beliau tetap dalam pendiriannya untuk selalu memegang sifat dzat Alloh.
Bahkan dalam pandangan, syeikh Siti Jenar sendiri mengenai perihal orang orang yang memenfaatkan dirinya, beliau mengungkapkannya dalam sidang terhormat para waliyulloh; “Bagaiman diriku bisa marah maupun menolak apa yang diinginkan oleh orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah mahluk Alloh, yang mana setiap apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap diriku, semua adalah ketentuanNya juga" lanjutnya.
“Diriku hanya sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak bukan hanya dialah Alloh semata . Karena sesungguhnya adanya diriku adanya dia dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Alloh adalah diriku dan diriku adalah Alloh, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula Alloh akan mengabulkannya. Jadi janganlah salah paham akan ilmu Alloh sesungguhnya, karena pada kesempatannya nanti semua akan kembali lagi kepadaNya."
Dari pembedaran tadi sebenarnya semua para waliyulloh, mengerti betul akan makna yang terkandung dari seorang yang sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua waliyulloh yang ada dalam persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan yang diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.
Hanya saja permasalahannya kala itu, seluruh para wali sedang menapaki pemahaman ilmu bersifat syar’i sebagai bahan dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Wal hasil, semua para wali pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syeikh siti jenar, yang sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh oleh orang yang sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan bisa mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar.
Sedangkan pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat zadabiyah, beliau tidak bisa mengerem ucapannya yang bersifat ketauhidan, sehingga dengan cara yang dilakukannya ini membawa dampak kurang baik bagi masyarakt luas kala itu. Nah, untuk menanggulangi sifat syeikh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya memohon petunjuk kepada Alloh SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan hampir semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu :
"Tiada jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan tuhannya, kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya". Dari hasil hawatif para waliyulloh, akhirnya syeikh Siti Jenar dipertemukan dengan kekasihnya Alloh SWT, lewat eksekusi pancung. Dan cara ini bagi syeikh Siti Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena baginya, mati adalah kebahagiaan yang membawanya kesebuah kenikmatan untuk selama lamnya dalam naungan jannatun na’im.
Sumber : Idris Nawawi (mystys.wordpress.com)
[Sumber...]
~*~
Category: | Other |
Ingredients:
Sebuah buku menarik bertajuk Susuk Malang Melintang (2006) karya Agus Sunyoto diterbitkan untuk meluruskan pandangan keliru tentang ajaran Syekh Siti Jenar -- akar aliran Islam kejawen dan tasawuf wahdatul wujud.
Buku yang terdiri dari tujuh jilid tersebut seperti sengaja menghadirkan antitesa untuk menggugurkan pandangan yang kurang pas tentang wali kontroversial itu, termasuk meluruskan kesalahpahaman masyarakat Islam tentang ajaran-ajaran sang wali yang cenderung dianggap sesat, seperti ditulis dalam banyak buku yang terbit sebelumnya.
Salah satu informasi penting yang ditemukan oleh Agus adalah bahwa Syekh Siti Jenar tidak meninggal karena dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat selama ini. Jika temuan Agus itu benar, berarti ada semacam penyimpangan sejarah wali-wali di Nusantara, yang berarti juga penyimpangan sejarah Islam, untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.
Berdasar penelitian terhadap sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno, Agus menyimpulkan bahwa persepsi tentang Syekh Siti Jenar selama ini banyak yang keliru. Temuan-temuan penting tersebut dikemukakan Agus pada acara peluncuran bukunya di Surabaya, belum lama ini.
Jika betul memang ada penyimpangan, atau bahkan penggelapan sejarah, dan temuan Agus itu benar, berarti kehadiran buku Susuk Malang Melintang menjadi sangat penting. Meski belum dapat dianggap menyamai The Da Vinci Code karya Dan Brown dalam mengguncang iman penganut agama tertentu, sebagian masyarakat (Jawa) yang menganut 'ajaran sesat' (atau 'yang disesatkan') yang diyakini berasal dari Syekh Siti Jenar bisa jadi terperangah setelah membaca buku itu. Begitu juga mereka yang memiliki persepsi keliru tentang sang wali.
Harapan baiknya adalah, keimanan mereka yang 'sesat' atau 'disesatkan' itu bisa tercerahkan dan kembali ke ajaran Islam yang benar. Dan, inilah manfaat penting buku: tidak hanya memberi pengetahuan tapi juga meluruskan tesis yang salah dan mengubah opini publik menjadi lebih benar. Dalam konteks itu, buku tidak hanya menjadi agen ilmu pengetahuan, tapi juga agen perubahan.
Seperti ditegaskan dalam peluncuran buku itu, tujuan Agus pun jelas, meluruskan stigma jelek Syekh Siti Jenar. Dan, upaya pelurusannya disepakati oleh budayawan Mohammad Sobary, Setyo Yuwono Sudikan, dan KH Agus Ali Masyhuri, yang tampil sebagai pembahas.
Temuan Agus yang juga penting, dan dibeberkan/bahaskan dalam buku itu, adalah bahwa Syekh Siti Jenar ternyata juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) Islam dan tidak mengajarkan sasahidan atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
Para pengikut Syekh Siti Jenar, menurut temuan Agus, menganggap persepsi orang tentang wali ke-sembilan tersebut selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan.
Ajaran yang paling populer dari Syek Siti Jenar, yang banyak ditafsirkan secara keliru sehingga berkembangan kesalahan persepsi tentang sang wali, adalah manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia). Ajaran ini, menurut Agus, merujuk pada Alquran bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu. Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
Dengan tesis-tesis anti-tesisnya itu, seperti diakui budayawan Setyo Yuwono Sudikan, berarti Agus Sunyoto telah melakukan semacam dekonstruksi terhadap sosok Syekh Siti Jenar melalui buku. Ia telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar.
Jauh sebelum Agus, budayawan sufistik Abdul Hadi WM juga sudah meyakini bahwa Syekh Siti Jenar bukan tokoh yang sesat. Ada penggelapan informasi tentang sang wali oleh penguasa. Syekh Siti Jenar disingkirkan oleh penguasa Demak karena dianggap berbahaya, seperti nasib yang menimpa Hamzah Fansyuri pada masa Kesultanan Aceh. Jadi, bukan karena persoalan ajaran, tapi lebih untuk kepentingan politik-kekuasaan.
Memang begitulan 'interaksi negatif' antara penguasa dan tokoh kritis. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya. Jika perlu, mereka disingkirkan, seperti dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh kritis lainnya.
Dengan kekuatan penguasa sebagai panutan dan pemegang pusat informasi, pandangan masyarakat yang umumnya paternalistik pun dapat disesatkan, sehingga karakter sang tokoh benar-benar dihabisi. Di mana-mana, di hampir tiap zaman, penguasa kerap melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh yang semestinya dapat diteladani oleh masyarakat, seperti Mohammad Natsir dan Syeh Siti Jenar, diberi stigma negatif agar dilupakan.
Buku karya Agus itu, seperti diakui Mohammad Sobary, juga membuktikan bahwa sejarah tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tidak selalu final. Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada. Melalui buku yang ditulis dengan kesungguhan dan kerja keras itu, Agus berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar.
(Ahmadun Yosi Herfanda )
Directions:
Sumber : www.republika.co.id
Sebuah buku menarik bertajuk Susuk Malang Melintang (2006) karya Agus Sunyoto diterbitkan untuk meluruskan pandangan keliru tentang ajaran Syekh Siti Jenar -- akar aliran Islam kejawen dan tasawuf wahdatul wujud.
Buku yang terdiri dari tujuh jilid tersebut seperti sengaja menghadirkan antitesa untuk menggugurkan pandangan yang kurang pas tentang wali kontroversial itu, termasuk meluruskan kesalahpahaman masyarakat Islam tentang ajaran-ajaran sang wali yang cenderung dianggap sesat, seperti ditulis dalam banyak buku yang terbit sebelumnya.
Salah satu informasi penting yang ditemukan oleh Agus adalah bahwa Syekh Siti Jenar tidak meninggal karena dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat selama ini. Jika temuan Agus itu benar, berarti ada semacam penyimpangan sejarah wali-wali di Nusantara, yang berarti juga penyimpangan sejarah Islam, untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.
Berdasar penelitian terhadap sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno, Agus menyimpulkan bahwa persepsi tentang Syekh Siti Jenar selama ini banyak yang keliru. Temuan-temuan penting tersebut dikemukakan Agus pada acara peluncuran bukunya di Surabaya, belum lama ini.
Jika betul memang ada penyimpangan, atau bahkan penggelapan sejarah, dan temuan Agus itu benar, berarti kehadiran buku Susuk Malang Melintang menjadi sangat penting. Meski belum dapat dianggap menyamai The Da Vinci Code karya Dan Brown dalam mengguncang iman penganut agama tertentu, sebagian masyarakat (Jawa) yang menganut 'ajaran sesat' (atau 'yang disesatkan') yang diyakini berasal dari Syekh Siti Jenar bisa jadi terperangah setelah membaca buku itu. Begitu juga mereka yang memiliki persepsi keliru tentang sang wali.
Harapan baiknya adalah, keimanan mereka yang 'sesat' atau 'disesatkan' itu bisa tercerahkan dan kembali ke ajaran Islam yang benar. Dan, inilah manfaat penting buku: tidak hanya memberi pengetahuan tapi juga meluruskan tesis yang salah dan mengubah opini publik menjadi lebih benar. Dalam konteks itu, buku tidak hanya menjadi agen ilmu pengetahuan, tapi juga agen perubahan.
Seperti ditegaskan dalam peluncuran buku itu, tujuan Agus pun jelas, meluruskan stigma jelek Syekh Siti Jenar. Dan, upaya pelurusannya disepakati oleh budayawan Mohammad Sobary, Setyo Yuwono Sudikan, dan KH Agus Ali Masyhuri, yang tampil sebagai pembahas.
Temuan Agus yang juga penting, dan dibeberkan/bahaskan dalam buku itu, adalah bahwa Syekh Siti Jenar ternyata juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) Islam dan tidak mengajarkan sasahidan atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
Para pengikut Syekh Siti Jenar, menurut temuan Agus, menganggap persepsi orang tentang wali ke-sembilan tersebut selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan.
Ajaran yang paling populer dari Syek Siti Jenar, yang banyak ditafsirkan secara keliru sehingga berkembangan kesalahan persepsi tentang sang wali, adalah manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia). Ajaran ini, menurut Agus, merujuk pada Alquran bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu. Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
Dengan tesis-tesis anti-tesisnya itu, seperti diakui budayawan Setyo Yuwono Sudikan, berarti Agus Sunyoto telah melakukan semacam dekonstruksi terhadap sosok Syekh Siti Jenar melalui buku. Ia telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar.
Jauh sebelum Agus, budayawan sufistik Abdul Hadi WM juga sudah meyakini bahwa Syekh Siti Jenar bukan tokoh yang sesat. Ada penggelapan informasi tentang sang wali oleh penguasa. Syekh Siti Jenar disingkirkan oleh penguasa Demak karena dianggap berbahaya, seperti nasib yang menimpa Hamzah Fansyuri pada masa Kesultanan Aceh. Jadi, bukan karena persoalan ajaran, tapi lebih untuk kepentingan politik-kekuasaan.
Memang begitulan 'interaksi negatif' antara penguasa dan tokoh kritis. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya. Jika perlu, mereka disingkirkan, seperti dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh kritis lainnya.
Dengan kekuatan penguasa sebagai panutan dan pemegang pusat informasi, pandangan masyarakat yang umumnya paternalistik pun dapat disesatkan, sehingga karakter sang tokoh benar-benar dihabisi. Di mana-mana, di hampir tiap zaman, penguasa kerap melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh yang semestinya dapat diteladani oleh masyarakat, seperti Mohammad Natsir dan Syeh Siti Jenar, diberi stigma negatif agar dilupakan.
Buku karya Agus itu, seperti diakui Mohammad Sobary, juga membuktikan bahwa sejarah tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tidak selalu final. Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada. Melalui buku yang ditulis dengan kesungguhan dan kerja keras itu, Agus berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar.
(Ahmadun Yosi Herfanda )
Directions:
Sumber : www.republika.co.id
~*~
Syekh Siti Jenar: Makrifat dan makna Kehidupan
Sang Pembaharuan: Pejuangan dan ajaran Syaikh Siti Jenar
. .
No comments:
Post a Comment